Istilah dan pengertian etika secara kebahasaan/etimologi, berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang
berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Biasanya etika berkaitan erat dengan perkataan moral
yang berasal dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”,
yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan
perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.
Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya,
tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau
moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah
untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.
Kata etika
memiliki beberapa makna, Webster’s Collegiate Dictionary yang dikutip
oleh Ronald Duska dalam buku Accounting Ethics memberi empat makna
dasar dari kata etika, yaitu:
1. Suatu
disiplin terhadap apa yang baik dan buruk dan dengan tugas moral serta kewajiban.
2. Seperangkat
prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai,
3. Sebuah
teori atau sistem atas nilai-nilai moral,
Sedangkan
menurut Bertens etika dapat juga didefinisikan sebagai nilai-nilai
dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Dari pengertian diatas mengisyaratkan bahwa etika
memiliki peranan penting dalam melegitimasi segala perbuatan dan tindakan yang
dilihat dari sudut pandang moralitas yang telah disepakati oleh masyarakat.
Pengertian
moralitas adalah pedoman yang dimiliki setiap individu atau kelompok mengenai
apa yang benar dan salah berdasarkan standar moral yang berlaku dalam
masyarakat. Disamping
itu etika dapat disebut juga sebagai filsafat moral adalah cabang filsafat yang
berbicara tentang tindakan manusia.
Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan
bagaimana manusia harus bertindak, berdasarkan norma-norma tertentu.
Dalam
prakteknya, terkadang penerapan nilai etika hanya dilakukan sebatas persetujuan
atas standar moral yang telah disepakati untuk tidak dilanggar. Norma moral
yang menjadi standar masyarakat untuk menentukan baik buruknya perilaku dan
tindakan seseorang, terkadang hanya dianggap suatu aturan yang disetujui
bersama tanpa dipertimbangkan mengapa aturan-aturan moral tersebut harus kita
patuhi. Untuk itu, pemikiran-pemikiran yang lebih mendalam mengenai
alasan-alasan mengapa kita perlu berperilaku yang etis sesuai dengan
norma-norma moral yang telah disepakati, melahirkan suatu bentuk teori etika
yang menyediakan kerangka untuk memastikan benar tidaknya keputusan moral kita.
Etika bisnis merupakan studi standar formal yang mencakup
analisis norma moral dan nilai moral, namun juga berusaha mengaplikasikan
kesimpulan-kesimpulan analisis tersebut ke beragam institusi, teknologi,
transaksi, aktivitas, dan usaha-usaha yang kita sebut bisnis.
1.2 RELATIVITAS MORAL DALAM BISNIS
Persaingan global yang ketat tanpa mengenal adanya
perlindungan dan dukungan politik tertentu, semua perusahaan bisnis mau tidak
mau harus bersaing berdasarkan prinsip etika tertentu. Terdapat tiga pandangan
umum yang dianut. Pandangan pertama adalah bahwa norma etis berbeda antara satu
tempat dengan tempat yang lain, artinya perusahaan mengikuti aturan norma dan
moral yang berlaku di tempat perusahaan beroperasi. Pandangan kedua adalah
bahwa norma sendirilah yang paling benar dan tepat, artinya perusahaan
mengikuti aturan norma dan aturan moral di tempat perusahaan itu berasal.
Pandangan ketiga adalah immoralis naif yang menyatakan bahwa tidak norma moral
yang perlu diikuti sama sekali.
Menurut De
George, ada tiga pandangan umum yang dianut.
1. Norma etis berbeda
antara 1 tempat dengan tempat lainnya.
Artinya perusahaan harus mengikuti norma dan aturan moral yang berlaku di
negara tempat perusahaan tersebut beroperasi. Yang menjadi persoalan adalah
anggapan bahwa tidak ada nilai dan norma moral yang bersifat universal yang
berlaku di semua negara dan masyarakat, bahwa nilai dan norma moral yang
berlaku di suatu negara berbeda dengan yang berlaku di negara lain. Oleh karena
itu, menurut pandangan ini norma dan nilai moral bersifat relatif. Ini tidak
benar, karena bagaimanapun mencuri, merampas, dan menipu dimanapun juga akan
dikecam dan dianggap tidak etis.
2. Nilai dan norma moral
sendiri paling benar dalam arti tertentu mewakili kubu moralisme universal,
yaitu bahwa pada dasarnya norma dan nilai moral berlaku universal, dan karena
itu apa yang dianggap benar di negara sendiri harus diberlakukan juga di negara
lain (karena anggapan bahwa di negara lain prinsip itu pun pasti berlaku dengan
sendirinya). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa moralitas menyangkut
baik buruknya perilaku manusia sebagai manusia, oleh karena itu sejauh manusia
adalah manusia, dimanapun dia berada prinsip, nilai, dan norma moral itu akan
tetap berlaku.
3. Immoralis naif.
Pandangan ini menyebutkan bahwa tidak ada norma moral yang perlu diikuti sama
sekali.
1.3 TEORI ETIKA MODERN (KOGNITIVISME)
1. Utilitarisme
Utilitarisme
berasal dari kata Latin utilis yang berarti bermanfaat´. Menurut teori ini,
suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi menfaat itu harus
menyangkut bukan saja satu
dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Menurut suatu perumusan
terkenal, dalam rangka pemikiran
utilitarisme (utilitarianism) kriteria
untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the greatest
number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar.
2. Deontologi
Deontologi´
(Deontology) berasal dari kata dalam
Bahasa Yunani yaitu,
deon yang artinya adalah kewajiban. Dalam suatu perbuatan pasti ada
konsekuensinya. Dalam hal ini
konsekuensi perbuatan tidak boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan menjadi baik
bukan dilihat dari hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut wajib
dilakukan. Deontologi menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya.
Tujuan yang baik tidak menjadi perbuatan itu juga baik.
3. Teori
Hak
Dalam
pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang
paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan
atau perilaku. Sebetulnya teori hak merupakan suatu aspek dari teori
deontologi, karena hak berkaitan dengankewajiban.
4. Teori
Keutamaan
Teori
tipe terakhir ini adalah teori keutamaan (virtue) yang
memandang sikap atau akhlak seseorang. Dalam etika dewasa ini terdapat
minat khusus untuk teori keutamaan sebagai reaksi atas teori-teori etika
sebelumnya yang terlalu berat sebelah dalam mengukur perbuatan
dengan prinsip atau norma. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut :
disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk
bertingkah laku baik secara moral, misalnya : Kebijaksanaan, Keadilan,
Kerendahan hati, Suka bekerja keras.
1.4 TEORI ETIKA RELIGIUS (NONKOGNITIVISME)
Etika keagamaan
tradisional didasarkan pada keyakinan terhadap tuhan dan semesta moral.
Sejumlah aliran eksistensialisme religius kontemporer menolak teisme
tradisional. Umumnya menolak bentuk supernaturalisme dan otoritarianisme.
Sebagai gantinya landasan non teistik disampaikan dalam etika tillich;
atau teologi radikal yang melihat agama secara sekuler karena "Tuhan
telah mati" membuat etika lebih bersifat humanistik dan universal, serta
eksesistensial.
Bagi etika
keagamaan tradisional, Tuhan dianggap sebagai kebajikan (St.Agustine), atau
tebatasi oleh kebajikan (Plato), dan merupakan sumber dan pendukung
semuanilai.Etika relijius tradisional pada dasarnya bersifat deontologis, yakni
mendasarkan penekanan pada masalah tugas, kewajiban, atau memahami
kebenaran dalam bertindak. Etika bersifat agapistik,yakni berdasar pada
cinta Tuhan dan sesama manusia, meskipun unsur deontologis dan areteiki
dapat ditemukan didalamnya, termasuk unsur otoritarianisme dan
supernaturalisme.
Pemikir besar
Eropa dari kalangan kristen adalah ThomasAquinas (1225-1274). Menurut aquinas,
Tuhan adalah tujuan akhir manusia, karena Ia adalah nilai tertinggi dan
universal, dan karenanya kebahagiaan manusia tercapai apabila ia memandang
Tuhan.
Dalam perspektif religius pemikiran
etika cenderung melepaskan kepelikan dialektika atau metodologis dan memusatkan
pada usaha untuk mengeluarkan spirit moralitas islam denga cara lebih langsung
berakar pada AL-Qur’an dan Sunnah. Dalam topik ini pengetahuan dan perbuatan
menjadi unsur pencapain kebahagiaan. Sumber utama pengetahuan adalah Tuhan yang
telah menganugerahkannya kepada manusia melalui berbagai cara.
1.5 PRINSIP-PRINSIP ETIKA DALAM BISNIS
Bisnis dapat
diartikan sebagai kegiatan memproduksi dan menjual barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Kegiatan bisnis terjadi karena keinginan untuk
saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing manusia, dan masing-masing pihak
tentunya memperoleh keuntungan dari proses tersebut. Tidak dapat disangkal
bahwa pada umumnya orang berpendapat bahwa bisnis adalah untuk mencari
keuntungan sebesar-besarnya. Untuk memaksimumkan keuntungan tersebut, maka
tidak dapat dihindari sikap dan perilaku yang menghalalkan segala cara yang
sering tidak dibenarkan oleh norma moral.
Kalau
memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, dengan
sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Karena jika keuntungan menjadi
satu-satunya tujuan, semuanya dikerahkan dan dimanfaatkan demi tercapainya
tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi,
memperalat karyawan karena alasan apa saja berarti tidak menghormati mereka
sebagai manusia. Dengan itu dilanggar suatu prinsip etis yang paling mendasar
kita selalu harus menghormati martabat manusia.
Immanuel Kant,
filsuf Jerman abad ke-18, menurutnya prinsip etis yang paling mendasar dapat
dirumuskan sebagai berikut: “hendaklah memperlakukan manusia selalu juga
sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka”. Mereka
tidak boleh dimanfaatkan semata-mata untuk mencapai tujuan. Misalnya, mereka
harus dipekerjakan dalam kondisi kerja yang aman dan sehat dan harus diberikan
gaji yang pantas.
Sejarah
mencatat Revolusi Industri yang terjadi dari 1760 sampai 1830 dengan
tujuan untuk memaksimalisasi keuntungan, menyebabkan tenaga buruh dihisap
begitu saja, sungguh diperalat. Upah yang diberikan sangat rendah, hari kerja
panjang sekali, tidak ada jaminan kesehatan. Jika buruh jatuh sakit ia sering
diberhentikan dan dalam keadaan lain pun buruh bisa diberhentikan dengan
semena-mena. Lebih parahnya, banyak dipakai tenaga wanita dan anak dibawah
umur, karena kepada mereka bisa diberikan upah lebih rendah lagi dan mereka
tidak mudah memberontak. Hal ini menunjukkan bahwa maksimalisasi keuntungan
sebagai tujuan usaha ekonomis bisa membawa akibat kurang etis.
Di satu pihak
perlu diakui, bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi. Di lain pihak
keuntungan tidak boleh dimutlakkan. Keuntungan dalam bisnis merupakan suatu
pengertian yang relatif. Ronald Duska (1997) dalam Bertens (2000), mencoba
untuk merumuskan relativitas tersebut dengan menegaskan bahwa kita harus
membedakan antara purpose(maksud) dan motive. Maksud bersifat
obyektif, sedangkan motivasi bersifat subyektif. Keuntungan tidak merupakan
maksud bisnis. Maksud bisnis adalah menyediakan produk atau jasa yang
bermanfaat untuk masyarakat. Keuntungan hanya sekadar motivasi untuk mengadakan
bisnis. Oleh karena itu, bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung
dimutlakkan dan segi moral dikesampingkan.
Keuntungan
memungkinkan bisnis hidup terus, tetapi tidak menjadi tujuan terakhir bisnis
itu sendiri. Oleh karenanya tidak bisa dikatakan lagi bahwa profit merupakan
satu-satunya tujuan bagi bisnis. Beberapa cara untuk melukiskan relativitas
keuntungan dalam bisnis, dengan tidak mengabaikan perlunya (Bertens,
2000), adalah sebagai berikut:
1. Keuntungan merupakan
tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen dalam
perusahaan;
2. Keuntungan adalah
pertanda yang menunjukkan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat;
3. Keuntungan adalah cambuk
untuk meningkatkan usaha;
4. Keuntungan merupakan
syarat kelangsungan perusahaan;
5. Keuntungan mengimbangi
resiko dalam usaha.
Dari konsep
relativitas keuntungan diatas, mengisyaratkan bahwa keuntungan bukan yang utama
dalam bisnis. Persepsi manfaat dari pencapaian keuntungan harus dirubah, karena
bisnis bukan semata-mata untuk memperoleh keuntungan materiil. Untuk itu
prinsip-prinsip etika yang diterapkan dalam kegiatan bisnis pada perusahaan-perusahaan
bisnis, haruslah mengacu pada stakeholders
benefit. Stakeholders adalah semua pihak yang berkepentingan dengan
kegiatan suatu perusahaan. Pihak berkepentingan internal adalah “orang dalam”
dari suatu perusahaan: orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam
kegiatan perusahaan, seperti pemegang saham, manajer, dan karyawan. Pihak
berkepentingan eksternal adalah “orang luar” dari suatu perusahaan: orang atau
instansi yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti
para konsumen, masyarakat, pemerintah, lingkungan hidup. Kita bisa mengatakan
bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat semua stakeholders. Misalnya,
tidak etis kalau dalam suatu keputusan bisnis hanya kepentingan para pemegang
saham dipertimbangkan. Bukan saja kepentingan para pemegang saham harus
dipertimbangkan tapi juga kepentingan semua pihak lain, khususnya para karyawan
dan masyarakat di sekitar pabrik.
Beberapa prinsip
etis dalam bisnis telah dikemukakan oleh Robert C.Solomon (1993) dalam Bertens
(2000), yang memfokuskan pada keutamaan pelaku bisnis individual dan keutamaan
pelaku bisnis pada taraf perusahaan. Berikut dijelaskan keutamaan pelaku bisnis
individual, yaitu:
1. Kejujuran
Kejujuran
secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang harus
dimiliki pelaku bisnis. Orang yang memiliki keutamaan kejujuran tidak akan
berbohong atau menipu dalam transaksi bisnis. Pepatah kuno caveat
emptor yaitu hendaklah pembeli berhati-hati. Pepatah ini mengajak pembeli
untuk bersikap kritis untuk menghindarkan diri dari pelaku bisnis yang tidak
jujur. Kejujuran memang menuntut adanya keterbukaan dan kebenaran, namun dalam
dunia bisnis terdapat aspek-aspek tertentu yang tetap harus menjadi rahasia.
Dalam hal ini perlu dicatat bahwa setiap informasi yang tidak benar belum tentu
menyesatkan juga.
2. Fairness
Fairness adalah
kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang dan dengan ”wajar”
yang dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam
suatu transaksi.
3. Kepercayaan
Kepercayaan
adalah keutamaan yang penting dalam konteks bisnis. Kepercayaan harus
ditempatkan dalam relasi timbal-balik. Pebisnis yang memiliki keutamaan ini
boleh mengandaikan bahwa mitranya memiliki keutamaan yang sama. Pebisnis yang
memiliki kepercayaan bersedia untuk menerima mitranya sebagai orang yang bisa
diandalkan. Catatan penting yang harus dipegang adalah tidak semua orang dapat
diberi kepercayaan dan dalam memberikan kepercayaan kita harus bersikap kritis.
Kadang kala juga kita harus selektif memilih mitra bisnis. Dalam setiap
perusahaan hendaknya terdapat sistem pengawasan yang efektif bagi semua
karyawan, tetapi bagaimanapun juga, bisnis tidak akan berjalan tanpa ada
kepercayaan.
4. Keuletan
Keutamaan
keempat adalah keuletan, yang berarti pebisnis harus bertahan dalam banyak
situasi yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan negosiasi yang terkadang seru
tentang proyek atau transaksi yang bernilai besar. Ia juga harus berani
mengambil risiko kecil ataupun besar, karena perkembangan banyak faktor tidak
diramalkan sebelumnya. Ada kalanya ia juga tidak luput dari gejolak besar dalam
usahanya. Keuletan dalam bisnis itu cukup dekat dengan keutamaan
keberanian moral.
Selanjutnya, empat
keutamaan yang dimiliki orang bisnis pada taraf perusahaan, yaitu:
1. Keramahan
Keramahan
tidak merupakan taktik bergitu saja untuk memikat para pelanggan, tapi
menyangkut inti kehidupan bisnis itu sendiri, karena keramahan itu hakiki untuk
setiap hubungan antar-manusia. Bagaimanapun juga bisnis mempunyai segi melayani
sesama manusia.
2. Loyalitas
Loyalitas
berarti bahwa karyawan tidak bekerja semata-mata untuk mendapat gaji, tetapi
juga mempunyai komitmen yang tulus dengan perusahaan. Ia adalah bagian dari
perusahaan yang memiliki rasa ikut memiliki perusahaan tempat ia bekerja.
3. Kehormatan
Kehormatan
adalah keutamaan yang membuat karyawan menjadi peka terhadap suka dan duka
serta sukses dan kegagalan perusahaan. Nasib perusahaan dirasakan sebagai
sebagian dari nasibnya sendiri. Ia merasa bangga bila kinerjanya bagus.
4. Rasa
Malu
Rasa
malu membuat karyawan solider dengan kesalahan perusahaan. Walaupun ia sendiri
barang kali tidak salah, ia merasa malu karena perusahaannya salah.
Sebagai etika
khusus atau etika terapan, prinsip-prinsip etika yang berlaku dalam bisnis
sesungguhnya adalah penerapan dari prinsip etika pada umumnya. Secara umum,
prinsip-prinsip etika bisnis dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Prinsip
Otonomi
Otonomi adalah sikap
dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan
kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Orang
bisnis yang otonom adalah orang yang sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi
kewajibannya dalam dunia bisnis.
2. Prinsip
Kejujuran
Prinsip ini merupakan
prinsip yang paling problematik karena banyak pelaku bisnis yang mendasarkan
kegiatan bisnisnya dengan melakukan penipuan atau bertindak curang, entah
karena situasi eksternal tertentu atau memang dengan sengaja dilakukan.
Kejujuran terkait erat dengan kepercayaan. Kepercayaan adalah aset yang sangat
berharga bagi kegiatan bisnis. Sekali pihak tertentu tidak jujur, dia tidak
bisa lagi dipercaya dan berarti sulit bertahan dalam bisnis.
3. Prinsip
Keadilan
Prinsip keadilan
menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang
adil dan sesuai dengan kriteria yang rasional objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan. Prinsip ini menuntut agar setiap orang dalam kegiatan
bisnis entah dalam realisasi eksternal perusahaan maupun realisasi internal
perusahaan perlu diperlakukan sesuai dengan haknya masing-masing.
4. Prinsip
Saling Menguntungkan
Prinsip ini menuntut
agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.
Prinsip ini menuntut agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan
kepentingannya, prinsip saling menguntungkan secara positif menuntut hal yang
sama, yaitu agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan satu sama
lain, sehingga melahirkan suatu win-win situation.
5. Integritas
Moral
Prinsip ini terutama dihayati sebagai tuntutan
internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan agar dia perlu menjalankan
bisnis dengan tetap menjaga nama baiknya atau nama baik perusahaannya. Dengan
kata lain, prinsip ini merupakan tuntutan dan dorongan dari dalam diri pelaku
dan perusahaan untuk menjadi yang terbaik dan dibanggakan, dan ini tercermin
dalam seluruh perilaku bisnisnya dengan siapa saja, baik ke luar maupun ke
dalam perusahaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar