Berbicara mengenai
etika dunia usaha atau etika dalam praktik bisnis, tentunya tidak
terlepas dari perilaku pelaku-pelaku dalam dunia bisnis itu sendiri,
yaitu pelaku ekonomi dan bisnis, pemerintah dan masyarakat dalam dunia
usaha. Saat ini dunia bisnis sudah sangat berkembang di Indonesia.
Perkembangan yang signifikan ini menyebabkan terjadinya persaingan
bisnis di sana sini. Bahkan dunia bisnis tidak lagi mengenal adanya
batas antara negara. Jarak dan batas tidak lagi menjadi penghalang bagi
jalannya bisnis karena adanya teknologi yang mendukung berjalannya
proses bisnis itu sendiri. Berkembangnya bisnis ini, semakin menuntut
tentang praktik bisnis yang baik dan etis. Meskipun demikian, tidak
sedikit pelaku bisnis seperti yang telah disebutkan di atas melakukan
dan menghalalkan berbagai cara agar berhasil dalam menjalankan bisnisnya
meskipun mungkin apa yang mereka lakukan memiliki unsur non etis.
Perkembangan teknologi yang cepat itu juga berpengaruh pada masalah
etika bisnis. Masalah etika bisnis tidak hanya menjadi bahan pembicaraan
di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, tetapi juga di
negara-negara maju.
Memang, motivasi
utama atau tujuan utama dari bisnis adalah memperoleh laba. Yang ingin
diatur dalam etika bisnis dalam profesi adalah memperoleh laba dengan
cara yang benar. Yang dimaksud dengan cara yang benar di sini adalah
cara yang etis. Karena banyak bisnis yang berorientasi laba, dalam
proses memperoleh labanya, menggunakan cara yang bertentangan dengan
nilai-nilai budaya dan martabat kemanusiaan. Hal ini dipandang sebagai
cara yang tidak etis.
Praktik bisnis
merupakan aktivitas utama masyarakat yang seharusnya didukung oleh
perilaku baik dan bila perlu terdapat code of conduct agar aktivitas ini
bersih dari segala hal yang dapat mengganggu. Etika bisnis sangat
penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya.
Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang
maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan
lain-lain.
Nilai-nilai
(values) adalah standar kultural dari perilaku yang diputuskan sebagai
petunjuk bagi pelaku bisnis dalam mencapai dan mengejar tujuan. Dengan
demikian, pelaku bisnis menggunakan nilai-nilai dalam pembuatan
keputusan secara etik apakah mereka menyadarinya atau tidak. Semakin
lama, manajer bisnis ditantang meningkatkan sensitivitas mereka terhadap
permasalahan etika. Mereka menekankan pada evaluasi secara kritis
prioritas nilai-nilai mereka untuk melihat bagaimana ini pantas dengan
realitas dan harapan organisasi dan masyarakat.
Paradigma etika dan
bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi
paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika
dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan
yang baik yang dilandasi oleh etika bisnis merupakan sebuah competitive
advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etika penting
diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis.
DEFINISI ETIKA
Kata etika berasal
dari bahasa Yunani, “Ethos”, atau ”Taetha” yang berarti tempat tinggal,
padang rumput, karakter , watak kesusilaan atau adat kebiasaan
(custom).Oleh filsuf Yunani, Aristoteles, etika digunakan untuk
menunjukkan filsafat moralyang menjelaskan fakta moral tentang nilai dan
norma moral, perintah, tindakankebajikan dan suara hati.
Sebagai suatu
subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki olehindividu
ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah
dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:
- Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and the nature of the right).
- Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions).
- Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual. (The science of human character in its ideal state, and moral principles as of an individual). Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty).
- Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Etika juga
diartikan pula sebagai filsafat moral yang berkaitan dengan studi
tentang tindakan-tindakan baik ataupun buruk manusia di dalam mencapai
kebahagiaannya. Apa yang dibicarakan di dalam etika adalah tindakan
manusia, yaitu tentang kualitas baik (yang seyogyanya dilakukan) atau
buruk (yang seyogyanya dihindari) atau nilai-nilai tindakan manusia
untuk mencapai kebahagiaan serta tentang kearifannya dalam bertindak.
DEFINISI BISNIS
Bisnis adalah suatu
kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan
menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi dan memuaskan
kebutuhan dari masyarakat. Bisnis merupakan seluruh kegiatan yang
diorganisasikan oleh orang-orang yang berkecimpung dalam bidang
perniagaan dan industri yang menyediakan barang dan jasa untuk
mempertahankan dan memperbaiki standar serta kualitas hidup mereka.
Peranan bisnis sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat, karena melalui kegiatan bisnis suatu perusahaan akan dapat memenuhi setiap kebutuhan (needs) keinginan (wants) dari masyarakat konsumen yang beraneka ragam, sehingga konsumen merasa terpuaskan
(customer satisfactions). Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah suatu
organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis
lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara historis kata bisnis dari bahasa
Inggrisbusiness, dari kata dasar busy yang berarti "sibuk" dalam
konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk
mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan.
Dalam ekonomi
kapitalis, dimana kebanyakan bisnis dimiliki oleh pihak swasta, bisnis
dibentuk untuk mendapatkan profit dan meningkatkan kemakmuran para
pemiliknya. Pemilik dan operator dari sebuah bisnis mendapatkan imbalan
sesuai dengan waktu, usaha, atau kapital yang mereka berikan. Namun
tidak semua bisnis mengejar keuntungan seperti ini, misalnya bisnis
koperatif yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan semua anggotanya
atau institusi pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Model bisnis seperti ini kontras dengan sistem sosialistik,
dimana bisnis besar kebanyakan dimiliki oleh pemerintah, masyarakat
umum, atau serikat pekerja.
Secara etimologi,
bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang sibuk
melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan. Kata "bisnis" sendiri
memiliki tiga penggunaan, tergantung skupnya dimana penggunaan singular
kata bisnis dapat merujuk pada badan usaha, yaitu kesatuan yuridis
(hukum), teknis, dan ekonomis yang bertujuan mencari laba atau
keuntungan. Penggunaan yang lebih luas dapat merujuk pada sektor pasar
tertentu, misalnya "bisnis pertelevisian." Penggunaan yang paling luas
merujuk pada seluruh aktivitas yang dilakukan oleh komunitas penyedia
barang dan jasa. Meskipun demikian, definisi "bisnis" yang tepat masih
menjadi bahan perdebatan hingga saat ini.
DEFINISI ETIKA BISNIS
Etika bisnis
merupakan penerapan tanggung jawab sosial suatu bisnis yang timbul dari
dalam perusahaan itu sendiri. Bisnis selalu berhubungan dengan
masalah-masalah etis dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Hal ini dapat
dipandang sebagai etika pergaulan bisnis. Seperti halnya manusia
pribadi juga memiliki etika pergaulan antar manusia, maka pergaulan
bisnis dengan masyarakat umum juga memiliki etika pergaulan yaitu etika
pergaulan bisnis. Etika pergaulan bisnis dapat meliputi beberapa hal
antara lain adalah:
1. Hubungan antara bisnis dengan langganan/konsumen
Hubungan antara
bisnis dengan langgananya merupakan hubungan yang paling banyak
dilakukan, oleh karena itu bisnis haruslah menjaga etika pergaulanya
secara baik. Adapun pergaulannya dengan langganan ini dapat disebut
disini misalnya saja:
- Kemasan yang berbeda-beda membuat konsumen sulit untuk membedakan atau mengadakan perbandingan harga terhadap produknya.
- Bungkus atau kemasan membuat konsumen tidak dapat mengetahui isi didalamnya, sehingga produsen perlu menberikan penjelasan tentang isi serta kandungan atau zat-zat yang terdapat didalam produk itu.
- Pemberian servis dan terutama garansi adalah merupakan tindakan yang sangat etis bagi suatu bisnis. Sangatlah tidak etis suatu bisnis yang menjual produknya yang ternyata jelek (busuk) atau tak layak dipakai tetap saja tidak mau mengganti produknya tersebut kepada pembelinya.
2. Hubungan dengan karyawan
Manajer yang pada
umumnya selalu berpandangan untuk memajukan bisnisnya sering kali harus
berurusan dengan etika pergaulan dengan karyawannya.Pergaulan bisnis
dengan karyawan ini meliputi beberapa hal yakni: Penarikan
(recruitment), Latihan (training), Promosi atau kenaikan pangkat,
Tranfer, demosi (penurunan pangkat) maupun lay-off atau pemecatan/PHK (
pemutusan hubungan kerja). Didalam menarik tenaga kerja haruslah dijaga
adanya penerimaan yang jujur sesuai dengan hasil seleksi yang telah
dijalankan. Sering kali terjadi hasil seleksi tidak diperhatikan akan
tetapi yang diterima adalah peserta atau calon yang berasal dari anggota
keluarga sendiri.
Disamping itu tidak
jarang seorang manajer yang mencoba menaikan pangkat para karyawan dari
generasi muda yang dianggapnya sangat potensial dalam rangka membawa
organisasi menjadi lebih dinamis, tetapi hal tersebut mendapat protes
keras dari karyawan dari generasi tua. Masalah lain lagi dan yang paling
rawan adalah masalah pengeluaran karyawan atau dropout. Masalah DO atau
PHK ini perlu mendapatkan perhatian ekstra dari para manajer karena hal
ini menyangkut masalah tidak saja etik akan tetapi juga masalah
kemanusian. Karyawan yang di PHK –kan tentu saja akan kehilangan mata
pencahariannya yang menjadi tumpuan hidup dia bersama keluarganya.
3. Hubungan antar bisnis
Hubungan ini
merupakan hubungan antara perusahaan yang satu dengan perusahan yang
lain Hal ini bisa terjadi hubungn antara perusahaan dengan saingannya,
dengan penyalurnya, dengan grosirnya, dengan pengecernya, agen
tunggalnya maupun distributornya.
Dalam kegiatan
sehari-hari tentang hubungan tersebut sering terjadi benturan-benturan
kepentingan antar kedunya. Dalam hubungan itu tidak jarang dituntut
adanya etika pergaulan bisnis yang baik. Sebagai contoh sebuah penerbit
yang ingin menyalurkan buku-buku terbitanya kepada para grosir yang
bersedia membeli secara kontan dalam jumlah besar dan kontinyu dengan
memperoleh potongan rabat yang sama dengan penyalur.
Rencana ini menjadi
kandas karena mendapat protes keras dari para penyalur-penyalurnya yang
memandang tindakan penerbit tersebut akan sangat merugikan para
penyalur sedangkan omset dari para penyalur sendiri dalam beberapa tahun
tidak meningkat. Contoh lain adalah adanya perebutan tenaga kerja ahli
atau manajer profesional oleh para pengusaha, persaingan harga yang
saling menjatuhkan diantara bisnismen dan sebagainya.
4. Hubungan dengan Investor
Perusahaan yang
berbentuk Perseroan Terbatas dan terutama yang akan atau telah “go
publik” harus menjaga pemberian informasi yang baik dan jujur dari
bisnisnya kepada para insvestor atau calon investornya. Informasi yang
tidak jujur akan menjerumuskan para investor untuk mengambil keputusan
investasi yang keliru. Dalam hal ini perlu mandapat perhatian yang
serius karena dewasa ini di Indonesia sedang mengalami lonjakan kegiatan
pasar modal. Banyak permintaan dari para pengusaha yang ingin menjadi
emiten yang akan menjual sahamnya kepada masyarakat.
Dipihak lain
masyarakat sendiri juga sangat berkeinginan untuk menanamkan uangnya
dalam bentuk pembelian saham ataupun surat-surat berharga yang lain yang
diemisi oleh perusahaan di pasar modal. Oleh karena itu masyarakat
calon pemodal yang ingin membeli saham haruslah diberi informasi secara
lengkap dan benar terhadap prospek perusahan yang go public tersebut.
Jangan sampai terjadi adanya manipulasi atau penipuan terhadap informasi
terhadap hal ini.
5. Hubungan dengan Lembaga-Lembaga Keuangan
Hubungan dengan
lembaga-lembaga keuangan terutama jawatan pajak pada umumnya merupakan
hubungan pergaulan yang bersifat finansial. Hubungan ini merupakan
hubungn yang berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan yang berupa
neraca dan laporan Rugi dan Laba misalnya. Laporan finansial tersebut
haruslah disusun secara baik dan benar sehingga tidak terjadi
kecendrungan kearah penggelapan pajak misalnya. Keadaan tersebut
merupakan etika pergaulan bisnis yang tidak baik.
Pelaksanaan
tangungjawab sosial suatu bisnis merupakan penerapan kepedulian bisnis
terhadap lingkungan, baik lingkungan alam, teknologi, ekonomi, sosial,
budaya,perintah maupun masyarakat Internasional. Bisnis yang menerapkan
tanggung jawab sosial itu merupakan bisnis yang menjalankan etika
bisnis, sedangkan bisnis yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial
itu merupakan penerapan yang tidak etis.
Penerapan etika bisnis ini murupakan penerapan dari konsep “Stake Holder” sebagai pengganti dari konsep lama yaitu konsep “Stock Holder” . Pengusaha yang menerapkan konsep Stock Holder berusaha untuk mementingkan kepentingan para pemengang saham (Stockholder)
saja, di mana para pemegang saham tentu saja akan mementingkan
kepentinganya yaitu penghasilan yang tinggi baginya yaitu yang berupa
deviden atau pembagian laba serta harga saham dipasar bursa. Dengan
memperoleh deviden yang tinggi maka penghasilan mereka akan tinggi,
sedangkan dengan naiknya nilai atau kurs saham akan merupakan kenaikan
kekayaan yang dimilikinya yaitu sahamnya itu
dapat dijual dengan
harga yang lebih tinggi. Pemenuhan kepentingan ataupun tuntutan dari
para pemengan saham itu sering kali mengabaikan kepentingan –
kepentingan pihak-pihak yang lain yang juga terlibat dalam kegiatan
bisnis. Pihak lain yang terkait dalam kegiatan bisnis tidak hanya para
pemegang saham saja akan tetapi masih banyak lagi seperti :
1) Pekerja/ karyawan
2) Konsumen
3) Kreditur
4) Lembaga-lembaga keuangan
5) Pemerintah.
MASALAH-MASALAH ETIKA BISNIS
Masalah etika dalam bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori antara lain:
1. Suap (Bribery)
Adalah tindakan
berupa menawarkan, memberi, menerima, atau meminta sesuatu yang berharga
dengan tujuan mempengaruhi tindakan seorang pejabat dalam melaksanakan
kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk memanipulasi seseorang dengan
“membeli pengaruh”. Pembelian itu dapat dilakukan baik dengan
membayarkan sejumlah uang atau barang, maupun pembayaran kembali setelah
transaksi terlaksana.
Suap kadang-kadang
tidak mudah dikenali. Pemberian cash atau penggunaan callgirls dapat
dengan mudah dimasukkan sebagai cara suap, tetapi pemberian hadiah
(gift) tidak selalu dapat disebut sebagai suap, tergantung dari maksud
dan respon yang diharapkan oleh pemberi hadiah.
2. Paksaan (Coercion)
Adalah tekanan,
batasan, dorongan dengan paksa atau dengan menggunakan jabatan atau
ancaman. Paksaan dapat berupa ancaman untuk mempersulit kenaikan
jabatan, pemecatan, atau penolakan industri terhadap seorang individu.
3. Penipuan (Deception)
Adalah tindakan memperdaya, menyesatkan yang disengaja dengan mengucapkan atau melakukan kebohongan.
4. Pencurian (Theft)
Adalah tindakan
mengambil sesuatu yang bukan hak kita atau mengambil properti milik
orang lain tanpa persetujuan pemiliknya. Properti tersebut dapat berupa
properti fisik atau konseptual.
5. Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination)
Adalah perlakuan
tidak adil atau penolakan terhadap orang-orang tertentu yang disebabkan
oleh ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, atau agama. Suatu kegagalan
untuk memperlakukan semua orang dengan setara tanpa adanya perbedaan
yang beralasan antara mereka yang disukai dan tidak.
Dalam etika bisnis
berlaku prinsip-prinsip yang seharusnya dipatuhi oleh para pelaku
bisnis. Etika bisnis memiliki prinsip-prinsip yang harus ditempuh oleh
perusahaan untuk mencapai tujuannya dan harus dijadikan pedoman agar
memiliki standar baku yang mencegah timbulnya ketimpangan dalam
memandang etika moral sebagai standar kerja atau operasi perusahaan.
Muslich (1998: 31-33) mengemukakan prinsip-prinsip etika bisnis sebagai
berikut.
- Prinsip Otonomi: yaitu kemampuan mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadaran tentang apa yang baik untuk dilakukan dan bertanggung jawab secara moral atas keputusan yang diambil.
- Prinsip Kejujuran: bisnis tidak akan bertahan lama apabila tidak berlandaskan kejujuran karena kejujuran merupakan kunci keberhasilan suatu bisnis (misal kejujuran dalam pelaksanaan kontrak, kejujuran terhadap konsumen, kejujuran dalam hubungan kerja dan lain-lain).
- Prinsip Keadilan: bahwa tiap orang dalam berbisnis harus mendapat perlakuan yang sesuai dengan haknya masing-masing, artinya tidak ada yang boleh dirugikan haknya.
- Prinsip Saling Menguntungkan: agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan, demikian pula untuk berbisnis yang kompetitif.
- Prinsip Integritas Moral: prinsip ini merupakan dasar dalam berbisnis dimana para pelaku bisnis dalam menjalankan usaha bisnis mereka harus menjaga nama baik perusahaan agar tetap dipercaya dan merupakan perusahaan terbaik.
ETIKA BISNIS DALAM PRAKTEK
Berbagai kekuatan
dan dorongan mempengaruhi perilaku manusia, diantaranya kekuatan dan
dorongan yang datang dari luar dirinya (negara, masyarakat, kelompok,
pribadi), dan kekuatan dan dorongan yang timbul dari alam (cuaca,
keadaan alam, polusi udara), serta kekuatan dan dorongan yang berasal
dari dalam diri manusia itu sendiri (sifat azasi, mental, spiritual).
Kekuatan yang
mempengaruhi perilaku manusia dari luar dirinya diantaranya adalah
sistem hukum, yang dengan disertai ancaman berupa sanksi yang akan
dijatuhkan oleh pihak penguasa, berupa paksaan bagi manusia untuk
mengikuti standar-standar perilaku tertentu dalam rangka membentuk suatu
tatanan dan ketertiban dalam hubungan antar manusia dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Beberapa ahli menyatakan bahwa di dalam
masyarakat yang demokratis, kekuasaan memaksa yang mempunyai otoritas
atas pihak lain (misalnya ketentuan-ketentuan hukum) adalah berasal dari
dan didasarkan pada kemauan yang datang dari pihak yang dikuasai.
Pandangan-pandangan tersebut berasal dari teori-teori kontrak sosial.
Selanjutnya, di antara hal-hal yang secara internal mempengaruhi
perilaku manusia pribadi adalah opini manusia terhadap dirinya sendiri,
baik yang timbul dari diri sendiri maupun opini yang diterima dari orang
lain. Di dalam kategori orang lain termasuk orang tua, anak-anak,
keluarga, teman dan semua orang lain yang tidak terdefinisikan, oleh
karena itu kadang-kadang banyak orang yang memandangnya sebagai sesuatu
yang mencemaskan.
Sebagian besar
opini tersebut terbentuk dari suatu sistem yang membimbing manusia dalam
menilai suatu hubungan atau tindakan, sistem inilah yang disebut dengan
“etika.” Pendekatan
umum dalam pembahasan masalah etika bisnis dapat dimulai dengan
mengajukan pertanyaan: “apakah suatu perusahaan yang menjalankan bisnis,
sebagai badan hukum, merupakan badan hukum privat atau badan hukum
publik?” Pembedaan ini perlu, karena bila kita memandang perusahaan
sebagai badan hukum privat, maka perusahaan dapat diperlakukan sebagai
subjek hukum privat, dengan demikian, perusahaan dapat bertindak untuk
dirinya sendiri, meskipun kewajiban tersebut dapat diperpanjang
jangkauannya atas kewajibannya untuk kepentingan orang lain.
Tambahan pula,
sebagai badan hukum privat suatu perusahaan berhak untuk mendapat
perlindungan hukum sebagai orang pribadi lainnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan, dan dapat pula ia memiliki kebebasan untuk
mengeluarkan pendapat. Di samping itu, bila kita memandang perusahaan
sebagai badan hukum publik, maka keadaan ini menjadi sebaliknya,
perusahaan mempunyai kewajiban bukan hanya kepada pemegang sahamnya,
tapi juga kepada masyarakat pada umumnya, mereka mempunyai kewajiban
umum kepada publik meskipun mereka akhirnya laba yang akan diterima akan
berkurang. Menurut pandangan ini, segala keputusan yang diambil
perusahaan menjadi objek bagi penilaian oleh masyarakat, dan harus
dibatalkan bila ternyata tidak memenuhi standar-standar yang ditentukan
secara umum.
Etika merupakan
suatu kehendak yang sistematik melalui penggunaan alasan untuk
mempelajari bentuk-bentuk moral dan pilihan-pilihan moral yang dilakukan
oleh seseorang dalam menjalankan hubungan dengan orang lain. Dalam
diskusi tentang etika bisnis, titik pandang harus difokuskan kepada
suatu kelompok dan situasi tertentu, misalnya pada lingkungan bisnis
teknik-teknik evaluasi diarahkan kepada perbuatan yang ada di dalam
lingkungan yang mempunyai tujuan-tujuan bisnis.
Keputusan dari
seorang dokter untuk tidak memberikan informasi yang kesehatan pasiennya
kepada pihak lain; dilema yang dialami seorang pengacara dalam
menangani benturan kepentingan dengan kliennya; ataupun tanggung jawab
seorang pelaku bisnis dalam pemasaran produk yang mengandung bahaya
menimbulkan pertanyaan yang sama yaitu apakah yang dimaksud dengan
benar, salah, baik, atau buruk? Apakah yang merupakan pilihan etika? Dan
dalam perbuatan yang bagaimana seseorang seharusnya sampai kepada suatu
keputusan untuk melakukan tindakan? Etika adalah cabang dari filsafat
yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungannya dengan manusia
lainnya, dengan makhluk lain, dan dengan lingkungan alam. Dengan
didasari oleh filsafat, studi mengenai etika mencari pengertian tentang
kebenaran dan prinsip-prinsip dasar yang memberi bimbingan untuk
mendapat pengertian tentang dunia ini.
Banyak teori dan
pelajaran tentang etika (contohnya adalah filsafat terapan) yang
mengevaluasi masalah-masalah moral. Di antaranya adalah teori-teori
Aristotelianisme, consequentialisme, instrumentalisme, hedonisme,
egoisme, altruisme, utilitarianisme, deontologisme, dan etika Kantian.
Teleological ini
dianut oleh pengikut utilitarianisme, di antara para pemukanya terdapat
Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1973). Termasuk
pula di dalam analisis teleological ini adalah pandangan dari filsuf
kontemporer John Rawls yang dinamakan “veil of ignorance”, didasarkan
kepada prinsip distributive justice. Ahli
fisafat terapan yang mengadopsi pendekatan Kantian menganut pandangan
Deontological, yaitu pandangan yang berbasis proses pengambilan
keputusan dalam menentukan suatu perbuatan. Pemukanya di antaranya
adalah filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804). Secara
praktis, pandangan-pandangan ini berhubungan dengan kegiatan dalam
menguji suatu perbuatan dengan hati-hati. Banyak ahli yang percaya bahwa
kedua pendekatan ini dapat digunakan sebagai analisis pemecahan problem
moral.
Banyak orang yang
mungkin secara tidak sadar mempraktekkan pendekatan teleological
terhadap etika dalam memutuskan dilema moral. Utilitarianisme adalah
bentuk etika teleological yang lebih familiar dikenal oleh pelaku-pelaku
bisnis yang memusatkan pandangannya terhadap masalah “the bottom
line”.Keputusan-keputusan bisnis diambil dengan pandangan yang
dipusatkan kepada akibat yang mungkin timbul atau konsekuensi apabila
terjadi pertentangan di antara keputusan-keputusan itu, pertanyaan yang
selalu diajukan adalah tentang “apa yang terbaik bagi perusahaan?”
Jika pelaku bisnis,
yang merupakan suatu badan hukum yaitu perusahaan, mempertimbangkan
hanya bagaimana agar suatu tindakan akan memberikan keuntungan yang
besar, maka hal ini adalah merupakan pandangan utilitarianisme.
Utilitarianisme dalam hal ini dikenal sebagai salah satu dari pandangan
dengan analisis laba-rugi (cost-benefit).
Menurut pandangan
utilitarianisme, kerangka yang harus digunakan dalam rangka
mempertimbangkan suatu tindakan yang akan diambil, harus didasarkan pada
perhitungan atas akibat atau konsekuensi dari tindakan itu. Tujuannya
adalah untuk memilih alternatif yang menghasilkan “yang paling baik bagi
kelompok terbesar.” Akan tetapi, pandangan ini dihadapkan kepada dua
pertanyaan yang sangat penting, yaitu untuk mencapai tujuan, seseorang
harus mampu untuk mengidentifikasi apa yang paling“baik” dan siapa yang
merupakan kelompok “terbesar” dalam setiap transaksi termasuk pula
akibat setiap pemutusan kontrak bisnis terhadap karyawannya yang
kemungkinan akan kehilangan pekerjaan atau setidaknya kekurangan
penghasilan karena berkurangnya produksi dan seterusnya mempertimbangkan
akibat tersebut terhadap keluarga karyawan.
Pemikiran etika
yang berbasis kewajiban adalah deontology, yaitu suatu pandangan dimana
keputusan tentang suatu tindakan harus diambil dengan dasar adanya
kewajiban, bukan dengan dasar akibat atau konsekuensi dari keputusan
itu. Pendekatan ini sering pula dinamakan pendekatan “kewajiban demi
kepentingan kewajiban“. Para penganut pandangan ini harus menerapkan
keahlian dan pemikiran untuk menemukan bentuk bahasan tentang kewajiban
tersebut dan mengidentifikasi manfaatnya.
Kant mengemukakan
anggapan bahwa tidak ada satupun di dunia ini - tentunya juga tidak ada
di luar dunia - yang dapat dibentuk sesuatu yang dinamakan baik tanpa
kualifikasi yang lain daripada ‘itikad baik’. Dalam pandangannya itikad
baik adalah niat yang rasional, dan niat yang rasional adalah sesuatu
yang bekerja secara konsisten dan tidak mengalami kontradiksi. Prinsip
konsistensi ini menghasilkan suatu ujian yang dapat mengenali kewajiban
seseorang yaitu kategori imperatif atau hukum yang universal. Menurut
kategori imperatif ini, kewajiban seseorang dalam suatu keadaan tertentu
akan menjadi jelas bila seorang bertanya: apakah keputusan seseorang
dapat di jadikan universal tanpa ada kontradiksi apabila di adopsi oleh
orang lain dalam situasi yang sama tanpa membuat suatu pengecualian.
Bagi penganut
pendekatan Kantian perilaku membuat janji palsu adalah pelanggaran
terhadap hukum umum yang telah diakui secara universal. Secara rasional
seseorang tidak boleh menginginkan untuk dapat secara bebas membuat
janji palsu. Keadaan ini tidak dapat dijadikan kaedah yang universal,
dan seseorang tidak dapat membuat suatu pengecualian khusus bagi dirinya
sendiri. Lebih jauh lagi, mengambil milik orang lain meskipun dalam
situasi seperti itu adalah berarti mengancam pemilik barang tersebut dan
tidak menghargai kehormatan pemiliknya.
Kaum Utilitarian
mengemukakan alasan bahwa hal yang baik yang dapat diikuti mungkin
adalah apa yang dapat merupakan kesempatan agar bisnis berjalan lancar
dan para pekerja yang membutuhkan dapat dipekerjakan. Hal yang buruk
adalah bila perusahaan tidak mendapat pembayaran, para pekerjanya akan
menderita, dan, bila pengamatnya adalah seorang Utilitarian, akibat
buruk akan datang dari pihak lain yang menganggap bahwa seseorang dapat
membuat janji palsu dengan tidak melakukan pembayaran.
Seorang filsuf
modern, W.D Ross, memberikan suatu versi deontology yang mendefinisikan
kewajiban sebagai suatu tindakan mengambil tanggungjawab atas kedua
kewajiban yang murni dan kewajiban-kewajiban untuk menghasilkan akibat
yang terbaik. Ross mengenali bahwa suatu hubungan tertentu adalah lebih
penting daripada yang lainnya dan bahwa suatu akibat tertentu akan lebih
utama dari yang lainnya. Dalam hal terjadi pertentangan kewajiban, Ross
menganjurkan untuk menilai konsekuensi dan membuat prioritas dari
kewajiban kewajiban untuk mengantisipasinya.
Pendekatan ini
dirumuskan oleh John Rawls, seorang pendukung teori Landasan Hak, yang
penelitiannya diarahkan kepada eksplorasi konsep keadilan. Namun
demikian, hasil karyanya sendiri bersandar kepada penggunaan analisis
etika dan sudah diterapkan secara luas sebagai alat dalam pendidikan
etika bisnis.
Rawls mengarahkan
kepada suatu test hipotesa mental yang dapat digunakan untuk menentukan
apa yang dinamakan “adil.” Ketika diminta untuk memberikan keputusan
yang mempunyai dimensi etika, langkah pertama yang harus diambil adalah
menuju ke balik “veil of ignorance” (tirai pengabaian). Dengan melakukan
hal itu, maka orang akan mengetahui bukan saja statusnya, tetapi juga
akan tahu bagaimana akibat dari suatu keputusan akan membawa dampak
kepada dirinya secara pribadi. Kemudian akan dapat dilakukan pendekatan
pada masalah ini dengan mengajukan suatu pertanyaan yang sederhana: apa
yang akan timbul sebagai keadilan yang rasional, dalam kasus tertentu
itu dan pada prinsip-prinsip umum? Jawabannya, sebagaimana diajukan oleh
teori ini, tidak akan berpihak, karena keadaan lingkungan pribadi telah
dikesampingkan.
Ada beberapa cara
yang berbeda untuk mempelajari perilaku dalam hal pengambilan keputusan
moral. Bila kita melihat ke dalam situasi bisnis, maka aspek-aspek dari
ketiga pendekatan (utilitarian-teleologocal, deontological, dan
pendekatan Rawls) akan muncul. Proses untuk mengajukan pertanyaan yang
dianjurkan oleh masing-masing metode cenderung untuk menstimulasi
pertimbangan yang mungkin semula tidak diambil seseorang. Hukum
tidak selalu lebih lambat daripada etika. Dengan tidak menyampingkan
hambatan-hambatan yang sering menjadi preseden, hukum juga dapat berubah
untuk mengakomodir pergeseran nilai-nilai tertentu yang mengikuti
prinsip moral yang lebih jelas. Akhir-akhir ini, di beberapa bidang
hukum, pihak legislatif dan pengadilan telah menunjukkan kemauan untuk
bertindak sebagai sponsor dan penegak hukum yang mengharuskan standar
perilaku yang lebih tinggi. (contohnya kewajiban CSR bagi setiap
perusahaan di Undang-Undang PT yang baru).
Kebanyakan aturan
hukum berada di bawah tingkatan tuntutan etika, akan tetapi, dalam
kenyataan hukum ikut mendorong meningkatnya tuntutan etika. Ini adalah
dapat dimengerti apabila kita mempelajari perilaku menurut “tingkat
perkembangan moral” yang diajukan oleh Lawrence Kohlberg, seorang
psikolog terkemuka di Amerika.
Observasi yang
dilakukan Kohlberg menawarkan pandangan bagaimana para manajer bisnis
berperilaku. Pandangan tersebut kira-kira sebagai berikut: bila suatu
tindakan yang dilakukan merupakan hal yang “legal” maka tindakan itu
pasti “baik“.
Masalah ini
menimbulkan pertanyaan yang menarik tentang etika yang diterapkan
pengacara dan kliennya bila mereka menangani atau terlibat dalam
litigasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa banyak cara untuk
memenangkan gugatan hukum atau mengambil keuntungan dalam negosiasi yang
mengandung dampak di bidang etika. Sudah tentu motif etika ini ada
karena hukum menyediakan berbagai teknik yang menentukan keberhasilan
dalam suatu gugatan hukum.
Apa yang dapat
ditarik dari fenomena berikut ini? Dalam kenyataan sering terjadi bahwa
pengusaha yang selalu menjalankan bisnisnya dengan melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etika: melakukan penipuan, persaingan yang
tidak sehat, bisnis yang curang, dan melakukan “pencurian”, namun tidak
pernah tertangkap dan menjadi kaya serta berumur panjang dan akhirnya
meninggal dunia dengan wajar pada usia lanjut.
Sebaliknya,
terdapat pengusaha yang menjalankan bisnis dengan penuh etika, namun
kemudian mempunyai anak yang menderita leukemia, dan di antaranya ada
yang kehilangan pekerjaan akibat merger perusahaannya, bahkan ada pula
yang menjadi cacat akibat ditabrak oleh pengendara mobil yang sedang
mabuk dan mati dalam usia yang relatif muda.
Dalam kegiatan
bisnis sehari-hari sangat mudah untuk menyebut etika bisnis, namun sulit
sekali untuk menerapkannya. Dalam lingkungan bisnis yang semakin
kompetitif, sering etika bisnis ditinggalkan semata-mata untuk mengejar
keuntungan yang besar dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, atau
untuk mendapatkan promosi jabatan dan terkadang untuk tetap dapat
menduduki suatu jabatan. Untuk mempertimbangkan etika dalam mengambil
keputusan, merupakan proses kegiatan pemikiran etika yang sangat mirip
dengan suatu studi produktif. Kerangka yang ditawarkan oleh teori-teori
etika menantang para manajer untuk mencari alternatif-alternatif dan
untuk menyusun alasan-alasan untuk mendukung alternatif tersebut. Hal
tersebut merupakan langkah yang penting dan krusial dalam lingkungan
bisnis yang semakin kompleks akhir-akhir ini, dimana pengambilan
keputusan yang baik akan berdampak finansial secara langsung dari suatu
tindakan yang dilakukan, namun juga terhadap kepentingan bisnis jangka
panjang yang tidak terlihat dengan jelas ataupun dampaknya terhadap
masyarakat.
Perlukah etika
dalam melakukan investasi? Jawabannya tentu saja perlu. Penekanan pada
pencarian laba tidak harus menjadikan investor melupakan etika. Cukup
sulit untuk menentukan sasaran etika ini. Pokok pikiran yang paling
penting dalam hal ini adalah jangan lakukan investasi yang merupakan
pengejaran laba dengan hanya berdasarkan spekulasi.
Dalam melakukan
investasi kebanyakan investor mencari dan memfokuskan perhatiannya
terhadap investasi yang aman dan menjanjikan keuntungan yang tinggi,
hanya sedikit yang memperhatikan investasi yang beretika.
Apabila investor
akan melakukan investasi yang berdasar etika, hendaklah perhatian
utamanya ditujukan kepada produk dan jasa perusahaan tersebut, sebagai
contoh: jangan melakukan investasi di perusahaan yang memproduksi
bahan-bahan yang mengakibatkan penyakit atau merusak lingkungan.
Selanjutnya sedapat mungkin dipelajari kemana dana yang diperoleh
perusahaan tersebut disalurkan, misalnya investasi di reksadana dapat
menjadi investasi yang tidak beretika apabila dana yang dihimpun
diinvestasikan di perusahaan-perusahaan yang produksinya mengakibatkan
penyakit atau merusak lingkungan.
Berbicara mengenai
etika dalam kaitan dengan bisnis dan investasi, tidak cukup hanya dengan
membahas teori-teori yang secara umum dianut pelaku bisnis atau para
investor, akan tetapi juga perlu membahas penerapan dan pelaksanaannya
dalam praktek bisnis, investasi, bahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut ini akan dibahas beberapa ilustrasi mengenai praktek etika dalam
berbagai segi kehidupan, yang bila diperhatikan secara mendalam akan
menampakkan gejala upaya penghindaran yang disadari atau tidak dilakukan
oleh sebagian anggota masyarakat.
a. Benci Tapi Beli: Kasus Timor (Mobnas)
Benci tapi beli,
proyek mobil Timor yang dikenal dengan proyek Mobnas (mobil nasional)
oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dianggap sebagai proyek
penyelundupan hukum yang dilakukan secara terang-terangan, dan tentunya
melakukan pelanggaran di berbagai bidang hukum, mulai dari perpajakan
sampai kaedah hukum internasional yang terdapat di komitmen Indonesia di
WTO (World Trade Organization). Namun, tidak dapat disangkal bahwa
dibalik itu mobil Timor termasuk mobil yang laku di pasar.
b. Anti Bank - Pro Deposito
Ketika krisis mulai
melanda Indonesia, banyak orang yang berteriak anti konglomerat tapi
dibalik itu sebagian dari mereka berlomba mendepositokan uangnya di
bank-bank milik konglomerat. Ketika terungkap kasus-kasus yang membuka
ketidaksehatan bank-bank di Indonesia, hampir semua orang memandang
dengan sinis terhadap bank-bank milik konglomerat dan menganggap bahwa
bank-bank tersebut merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi
Indonesia. Namun dibalik itu, berbondong-bondong orang memasukkan
uangnya di dalam deposito karena tingginya bunga bank pada waktu itu.
c. Benci Krisis Beli Dolar
Semua orang
mengeluh terhadap krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia tapi
bila kita perhatikan banyak sekali orang yang berlomba-lomba beli
dolar. Money-changer dipenuhi oleh orang-orang, mulai dari pedagang
sampai dengan ibu rumah tangga. Semua orang jadi ahli valuta asing dan
ahli moneter, dan mengikuti perkembangan harga valuta asing dengan
seksama untuk mencari keuntungan dari perdagangan valuta asing.
d. Benci Perusahaan Beli Saham
Contoh lainnya
adalah banyaknya orang yang menganjurkan untuk tidak merokok, banyak
yang benci rokok, namun kita lihat kenyataan bahwa saham perusahaan
rokok mempunyai kapitalisasi paling besar di Bursa Efek, dan orang-orang
berlomba membeli saham perusahaan rokok. Apakah ini melanggar ketentuan
hukum? Tentu saja tidak, namun seperti dikatakan di atas, etika tidak
dapat hanya dilihat dari sudut pandang hukum positif yang berlaku. Ini
berkaitan dengan etika investasi seperti yang telah disebutkan di atas.
e. Eksploitasi Anak Dalam Bisnis - iklan, hiburan, film
Sementara hampir
semua orang berteriak tentang perlindungan anak-anak, di televisi iklan
yang menggunakan anak-anak semakin gencar. Eksploitasi anak masih
merupakan hal yang sangat jarang diperhatikan di Indonesia, apalagi bagi
para pelaku bisnis. Semakin maraknya iklan di televisi yang menggunakan
anak, bahkan bayi, sebagai penarik konsumen, menandakan rancunya jalan
pemikiran masyarakat dalam kaitannya dengan etika. Sebagian besar
masyarakat belum dapat membedakan eksploitasi dengan pengejaran
keuntungan yang tidak melanggar etika bisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar